Tulisan
ini mencoba menjelaskan aspek perpajakan dalam program Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Aspek perpajakan di sini adalah aspek Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 22 atas pembelian barang, aspek Pajak Penghasilan Pasal 23 atas
pembayaran imbalan jasa, aspek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas pembayaran
honorarium kepada guru atau tenaga administrasi, dan aspek Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) atas pembelian barang dan jasa. Pembedaan jenis sekolah negeri dan
bukan sekolah negeri akan memberikan dampak berbeda dalam praktek pemungutan
PPh Pasal 22 dan pemungutan PPN. Pembayaran honor kepada guru atau pegawai yang
berstatus PNS dan bukan PNS juga akan mengakibatkan perlakuan berbeda dalam
pemotongan PPh Pasal 21.
Bantuan
Operasional Sekolah (selanjutnya disingkat BOS), adalah salah satu bentuk
program pemerintah di bidang pendidikan yang bertujuan untuk meringankan beban
masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun
yang bermutu. Selain itu, secara khusus program BOS juga mempunyai tujuan untuk
:
- Menggratiskan siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban operasional sekolah baik di sekolah negeri maupun di sekolah swasta
- Menggratiskan seluruh siswa SD Negeri dan SMP Negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada sekolah RSBI dan SBI
- Meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta.
- Rp400.000,-/siswa/tahun untuk SD/SDLB di kota
- Rp397.000,-/siswa/tahun untuk SD/SDLB di kabupaten
- Rp575.000,-/siswa/tahun untuk SMP/SMPLB/SMP Terbuka di kota
- Rp570.000,-/siswa/tahun untuk SMP/SMPLB/SMP Terbuka di kabupaten
Sebenarnya,
petunjuk operasional perpajakan atas BOS ini sudah dituangkan dalam Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 02/PJ./2006
Tentang Pedoman Pelaksanaan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Sehubungan
Dengan Penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Oleh Bendaharawan Atau
Penanggung Jawab Pengelolaan Penggunaan Dana BOS Di Masing-Masing Unit Penerima
BOS. Namun demikian, sebagaimana kita ketahui bahwa ketentuan perpajakan selalu
berkembang, apalagi dengan terbitnya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, maka
aturan pelaksanaan Pajak Penghasilanpun banyak yang sudah berubah.
Dengan
kata lain, SE-02/PJ/2006 tidak lagi dapat dijadikan rujukan sepenuhnya tentang
petunjuk pelaksanaan perpajakan program BOS karena beberapa peraturan yang
dijadikan rujukan sudah berubah.
Berikut
ini, saya inventarisir peraturan perpajakan terkait program BOS ini, yang
sebagian dirujuk juga oleh SE-02/PJ/2006.
- PPh Pasal 21 : Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan PER-57/PJ/2009
- PPh Pasal 22 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008
- PPh Pasal 23 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008
- PPN : Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003
Berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) PER-31/PJ/2009 stdtd PER-57/P/2009, baik sekolah negeri maupun
sekolah bukan negeri termasuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sehingga jika ada
pembayaran penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21, maka baik
sekolah negeri maupun negeri harus melakukan pemotongan PPh Pasal 21.
Dalam
hal dana BOS digunakan untuk honor pada kegiatan penerimaan siswa baru,
keiswaan, pengembangan profesi guru, penyusunan laporan BOS, dan kegiatan
pembelajaran pada SMP Terbuka, maka pemotongan PPh Pasal 21 tunduk kepada
pemotongan PPh pasal 21 atas peserta kegiatan sebagaimana diatur dalam
PER-31/PJ/2009 dan PER-57/PJ/2009. Namun demikian, jika penerima honor adalah
PNS, maka pemotongannya tunduk pada ketentuan dalam PP 45 Tahun 1994. Dengan
demikian, perlakuan pemotongan PPh Pasal 21 atas honor jenis ini adalah sebagai
berikut :
- Atas pembayaran honor kepada guru dan pegawai lain yang bukan PNS, dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif Pasal 17 UU PPh, yang pada umumnya adalah 5% dari jumlah bruto.
- Atas pembayaran honor kepada PNS yang bergolongan IIIA ke atas dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif 15% final.
- Atas pembayaran honor kepada PNS yang bergolongan IID ke bawah tidak dipotong PPh Pasal 21
Dalam
hal dana BOS digunakan untuk membayar honor bulanan kepada guru honorer, guru
tidak tetap (GTT) atau pegawai tidak tetap (PTT), yang bukan PNS, maka
pemotongan PPh Pasal 21 tunduk kepada ketentuan dalam PER-31/PJ/2009 dan
PER-57/PJ/2009. Dalam konteks penghitungan PPh Pasal 21 ini, guru jenis
ini dapat digolongkan ke dalam pegawai tetap atau pegawai tidak tetap. Saya
tidak tahu persis prakteknya seperti bagaimana di lapangan. Yang jelas,
kalau honor bulanannya masih di bawah PTKP, maka atas honor ini tidak dipotong
PPh Pasal 21. Besarnya PTKP minimal untuk tahun 2009 adalah Rp15.840.000
setahun atau Rp1.320.000 sebulan. Apabila melebihi PTKP, maka penghasilan yang
di atas PTKP dikenakan tarif Pasal 17 UU PPh (pada umumnya adalah 5% saja).
Perhitungan
di atas didasarkan pada asumsi saya bahwa guru honorer atau GTT ini tidak diberikan
honor bulanan lain selain dana yang berasal dari dana BOS ini.
Penggunaan
dana BOS berikutnya yang merupakan objek PPh pasal 21 adalah pembayaran honor
untuk tukang atau tenaga lepas yang melaksanakan kegiatan perawatan atau
pemeliharaan sekolah. Pengenaan PPh Pasal 21 nya tunduk kepada PER-31/PJ/2009
dan PER-57/PJ/2009 sebagai berikut :
- Dalam hal upah harian belum melebihi Rp. 150.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong
- Dalam hal upah harian telah melebihi Rp. 150.000,00 dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah harian dikurangi Rp. 150.000,00, dikalikan 5%
- Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan telah melebihi Rp. 1.320.000,00 dan kurang dari Rp 6.000.000,00, maka PPh Pasal 21 yang yang harus dipotong adalah sebesar upah harian dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%
- Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 6.000.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12
Berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008, yang ditunjuk
sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian barang yang dananya berasal dari
APBN/D adalah bendaharawan pemerintah. Dengan demikian, sekolah bukan negeri
yang menerima dana BOS tidak berkewajiban untuk memungut PPh Pasal 22.
Sebaliknya,
sekolah negeri adalah pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian barang yang danaya
berasal dari BOS. Dengan demikian atas pembayatran pembelian barang yang daya
berasal dari dana BOS dipotong PPh pasal 22 sebesar 1,5% dari harha beli. Jenis
pembelian ini misalnya pembelian ATK/bahan/penggandaan dan lain-lain (baik
untuk keperluan pengadaan formulir pendaftaran maupun untuk keperluan ujian
sekolah, ulangan umum bersama dan ulangan umum harian); pembelian bahan-bahan
habis pakai, seperti buku tulis, kapur tulis, pensil dan bahan pratikum;
pembelian bahan-bahan untuk perawatan/perbaikan ringan gedung sekolah dan pembelian
peralatan ibadah oleh pesantren salafiyah.
Pemotongan
PPh Pasal 22 juga dilakukan dalam hal sekolah negeri membeli buku-buku
pelajaran pokok maupun buku penunjang perpustakaan.
Dalam
hal nilai pembelian tersebut tidak melebihi jumlah Rp. 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, maka atas pengadaan atau
pembelian barang tersebut tidak dilakukan pemungutan PPh Pasal 22.
Aspek PPh
Pasal 23
Berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan, baik sekolah negeri
maupun sekolah bukan negeri merupakan pemotong PPh Pasal 23. Objek PPh Pasal 23
dalam penggunaan dana BOS bisa timbul berupa pembayaran imbalan jasa perawatan
atau pemeliharaan sekolah kepada badan usaha. Berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, atas jasa seperti ini dipotong PPh Pasal 23
sebesar 2% dari penghasilan bruto.
Aspek Pajak
Pertambahan Nilai
Aspek
PPN dalam penggunaan dana BOS adalah terkait dengan pemungutan PPN atas
pembelian barang atau jasa yang dananya berasal dari APBN/D. Berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 tentang Penunjukan
Bendaharawan Pemerintah Dan Kantor Perbendaharaan Dan Kas Negara Untuk
Memungut, Menyetor, Dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah Beserta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya,
yang ditunjuk sebagai pemungut PPN ini adalah bendaharawan pemerintah. Dengan
demiekian, sekolah yang bukan negeri tidak ada kewajiban pemungutan PPN.
Sebaliknya,
bendahara sekolah negeri adalah bendaharawan pemerintah sehingga ia punya
kewajiban pemungutan PPN atas pembelian barang kena pajak atau jasa kena pajak
dengan cara memungut PPN terutang dan menyetorkan ke kas negara atas nama
rekanannya.
PPN
tidak dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dalam hal pembayaran yang jumlahnya
paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran
yang terpecah-pecah. PPN juga tidak dipungut dalam hal pembayaran atas
penyerahan BKP/JKP yang PPN nya dibebaskan.
Jadi,
terkait dengan penggunaan dana BOS oleh sekolah negeri, perlakuan PPN nya
adalah sebagai berikut :
- Dipungut PPh Pasal 22 atas pembelian ATK/bahan/penggandaan dan lain-lain pada kegiatan penerimaan siswa baru, keisswaan, ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa, pembelian bahan-bahan habis pakai seperti buku tulis, kapur tulis, pensil dan bahan praktikum serta pembelian bahan untuk perawatan dan pemeliharaan sekolah. PPN tidak dipungut dalam hal pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
- Atas pembelian buku-buku teks pelajaran umum dan agama serta kitab suci, PPN nya dibebaskan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 146 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2003. Dengan demikian atas pembelian buku-buku seperti ini bendaharawan sekolah negeri tidak memungut PPN.
Tarif
Lebih Tinggi
Dengan
berlakunya UU Nomor 36 Tahun 2008, ketentuan tentang pemotongan dan pemungutan
PPh mengalami perubahan. Salah satunya adalah penerapan tarif lebih tinggi bagi
penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP. Untuk itu perlui diperhatikan
oleh bendahara BOS apakah penerima penghasilan memiliki NPWP atau tidak.
Fotocopy NPWP kiranya perlu diminta untuk membuktikan kepemilikan NPWP ini.
Untuk
PPh Pasal 21, preenerima penghasilan yang tidak berNPWP dipotong pajak dengan
tarif 20% lebih tinggi. Jadi, kalau misalnya tarif normal 5% maka kalau yang
tidak berNPWP dipotong tarif 20% lebih tanggi menjadi 6%. Untuk PPh Pasal 22
dan PPh Pasal 23, penerima penghasilan yang tidak berNPWP dikenakan tarif 100%
lebihh tinggi. Jadi, kalau tarif normal PPh Pasal 22 adalah 1,5%, bagi yang tak
berNPWP, tarifnya adalah 3%. Kalau tarif PPh Pasal 23 bagi yang berNPWP adalah
2%, bagi yang tak berNPWP tarifnya adalah 4%.
0 komentar:
Posting Komentar